WELCOME

Sabtu, 28 Juni 2014

RUU ITE UU NO 19 TENTANG HAK CIPTA



----------------------------------------
SOFTSKILL (ETIKA & PROFESIONALISME IT)
Dosen : Rudy Suhatril
RETNO AYU PRATIWI – 15110777 – 4KA20
----------------------------------------


PENGERTIAN uu ite
    Ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.


Materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar :

1. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik.

Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain:

  • Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 &  Pasal 6 UU ITE) 
  • Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE) 
  • Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE)
  • Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)

2. pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE).
2. Akses ilegal (Pasal 30).
3. Intersepsi ilegal (Pasal 31)
4. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE).
5. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE).
6. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE).

Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan.
  1. Unpad
  2. UI

Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.


Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.

Analisa UU no.19 tentang Hak Cipta
      Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. 
      Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.


     Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional.
      Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.
      Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain, mengenai :
  • Database (salah satu Ciptaan yang dilindungi).
  • Penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media audio, media audio visual dan/atau sarana telekomunikasi.  
  • Penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa. 
  • Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi Pemegang hak.
  • Batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung.
  • Pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi.
  • Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi.
  • Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait.
  • Ancaman pidana dan denda minimal.
  • Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.

Contoh kasus  :

Hak Cipta Dalam Industri Musik 
    Dalam industri musik, dari sudut perlindungan hak cipta dibedakan antara komposisi musik/lagu (music composition) dan rekaman suara (sound recordings).
Komposisi musik terdiri dari musik, termasuk di dalamnya syair/lirik. Komposisi musik dapat berupa sebuah salinan notasi atau sebuah rekaman awal (phonorecord) pada kaset rekaman atau CD. Komposer/pencipta lagu dianggap sebagai pencipta dari sebuah komposisi musik. 
      Sementara itu, rekaman suara (sound recording) merupakan hasil penyempurnaan dari serangkaian suara-suara baik yang berasal dari musik, suara manusia dan atau suara-suara lainnya. Dianggap sebagai pencipta dari sound recording adalah pelaku/performer (dalam hal pertunjukan) dan atau produser rekaman (record producer) yang telah memproses suara-suara dan menyempurnakannya menjadi sebuah rekaman final. 
    Hak cipta pada sebuah rekaman suara tidak dapat disamakan dengan, atau tidak dapat menggantikan hak cipta pada komposisi musiknya yang menjadi dasar rekaman suara tersebut.
Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), perlindungan hak cipta atas komposisi musik disebut pada Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta, sementara perlindungan hak cipta atas rekaman suara disebut pada Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta.

Cover Version dan Pelanggaran Hak Cipta

PENGERTIAN

   Hasil reproduksi atau membawakan ulang sebuah lagu yang sebelumnya pernah direkam dan dibawakan penyanyi/artis lain. Tidak sedikit, sebuah lagu cover version bahkan menjadi lebih terkenal daripada lagu yang dibawakan oleh penyanyi aslinya. Karenanya, banyak artis baru mencoba peruntungannya dengan membawakan lagu cover version dengan tujuan agar lebih cepat sukses dan terkenal.
    Untuk lagu-lagu cover yang diciptakan untuk tujuan komersial tadi, pencantuman nama penyanyi asli saja pada karya cover tentu tidak cukup untuk menghindari tuntutan hukum pemegang hak cipta. Agar tidak melanggar hak cipta orang lain, untuk mereproduksi, merekam, mendistribusikan dan atau mengumumkan sebuah lagu milik orang lain, terutama untuk tujuan komersial, seseorang perlu memperoleh izin (lisensi) dari pencipta/pemegang hak cipta sebagai berikut:


  1. Lisensi atas Hak Mekanikal (mechanical rights), yakni hak untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang) dan merekam sebuah komposisi musik/lagu pada CD, kaset rekaman dan media rekam lainnya; dan atau
  2. Hak Mengumumkan (performing rights), yakni hak untuk mengumumkan sebuah lagu/komposisi musik, termasuk menyanyikan, memainkan, baik berupa rekaman atau dipertunjukkan secara live (langsung), melalui radio dan televisi, termasuk melalui media lain seperti internet, konser live dan layanan-layanan musik terprogram.
  3. Royalti atas mechanical right yang diterima dibayarkan oleh pihak yang mereproduksi atau merekam langsung kepada pemegang hak (biasanya perusahaan penerbit musik (publisher) yang mewakili komposer/pencipta lagu). Sementara pemungutan royalti atas pemberian performing rights pada umumnya dilakukan oleh sebuah lembaga (di Indonesia disebut Lembaga Manajemen Kolektif – “LMK”) berdasarkan kesepakatan antara pencipta dan lembaga tersebut.
  4. WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) adalah dua dari beberapa LMK di Indonesia yang saat ini aktif menghimpun dan mendistribusikan royalti dari hasil pemanfaatan performing rights untuk diteruskan kepada komposer/pencipta lagu dan publisher.
The National Music Publishers Association vs. Fullscreen
   Terkait dengan masalah lagu cover, sekitar pertengahan tahun lalu, sekelompok perusahaan penerbit musik di Amerika Serikat (salah satunya adalah Warner/Chappell Music milik Warner Music Group) yang diwakili oleh the National Music Publishers’ Association, menggugat Fullscreen, salah satu perusahaan pemasok video terbesar ke YouTube yang berkantor di Los Angeles, di pengadilan distrik di Manhattan, Amerika Serikat, dengan alasan bahwa banyak dari video-video pasokan Fullscreen, terutama versi cover dari lagu-lagu hits dari artis-artis mereka, melanggar hak cipta mereka. Hal ini sebagaimana disarikan dari The New York Times, http://www.nytimes.com, edisi 7 Agustus 2013.
   Fullscreen mengklaim dirinya sebagai perusahaan media generasi baru yang membangun sebuah jaringan global melalui channel-channel di YouTube bekerja sama dengan ribuan kreator konten. Menurut Fullscreen, 15.000 channel yang mereka wakili total memiliki 200 juta pelanggan dan ditonton lebih dari 2,5 miliar orang per bulannya.
   Di antara video-video Fullscreen yang diputar YouTube adalah versi cover dari lagu-lagu hits beberapa artis Penggugat, biasanya dibawakan oleh para amatir atau semi profesional, yang ditampilkan tanpa izin publisher dan pencipta lagu serta tanpa membayar royalti.

 
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar